Menu

Mode Gelap
Momentum Hari Santri 2025: Stop Stigma, Bubarkan Pesantren? Objektivitas Publik Dinilai Kunci Jaga Stabilitas Politik Kalbar Kolaborasi KPU dan STKIP Melawi, Langkah Nyata Perkuat Pendidikan Demokrasi Pemkab Kubu Raya Percantik Jalan Ayani 2 dengan Lampu Warna-Warni, Warga Apresiasi Langkah Penerangan Ketua Pemuda Muhammadiyah Kubu Raya Apresiasi Bupati atas Penerangan Jalan Ayani 2 Festival Kue Bulan 2576 Kongzili Meriah, Wujud Pelestarian Budaya Tionghoa dan Daya Tarik Wisata Kubu Raya

Opini, Gagasan dan Analisis

Momentum Hari Santri 2025: Stop Stigma, Bubarkan Pesantren?

badge-check


					Foto: Suhedi Seorang Santri Jalanan/Ist Perbesar

Foto: Suhedi Seorang Santri Jalanan/Ist

GAGASANKALBAR.COM – Setiap tanggal 22 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional. Sebuah momentum yang tidak hanya bernuansa seremonial, tetapi juga reflektif. Tahun 2025 ini, peringatan Hari Santri mengusung semangat “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia”, menegaskan bahwa santri dan pesantren adalah bagian penting dari sejarah, moral, serta masa depan bangsa.

Namun, di tengah gegap gempita peringatan itu, muncul tantangan serius: stigma negatif terhadap pesantren. Beberapa peristiwa yang melibatkan oknum pengasuh atau pengelola lembaga pendidikan Islam kerap disorot media dan akhirnya menimbulkan generalisasi: seolah-olah seluruh pesantren identik dengan kekerasan, pelecehan, atau radikalisme.

Padahal, pesantren justru merupakan lembaga pendidikan yang paling konsisten membina moral, spiritual, dan intelektual anak bangsa. Maka, Hari Santri 2025 perlu dijadikan momentum nasional untuk menyerukan satu hal penting: Stop Stigma, Bubarkan Pesantren?

Pesantren: Pilar Sejarah dan Peradaban

Tidak bisa disangkal, pesantren adalah institusi asli Indonesia yang telah eksis jauh sebelum republik ini berdiri. Sejak abad ke-18, pesantren menjadi benteng pendidikan rakyat dan pusat penyebaran Islam moderat. Dari sinilah lahir tokoh-tokoh besar – dari KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, hingga para ulama dan pejuang kemerdekaan yang mengeluarkan Resolusi Jihad 1945 di Tebuireng (Kemenag.go.id).

Kini, di era modern, pesantren tidak hanya menjadi tempat mengaji dan menghafal kitab, tetapi juga lembaga pendidikan yang mengintegrasikan ilmu agama dan umum. Ada pesantren teknologi, pesantren digital, bahkan pesantren kewirausahaan. Mereka melahirkan santri yang religius sekaligus melek IPTEK.

Namun, di tengah kemajuan itu, pesantren masih harus berhadapan dengan prasangka dan tudingan yang tidak selalu berdasar.

Akar Stigma: Dari Kasus Oknum hingga Framing Media

Bila ditelusuri, akar stigma negatif terhadap pesantren berawal dari kasus oknum yang mencoreng nama lembaga. Beberapa tahun terakhir, publik dikejutkan dengan pemberitaan tentang kekerasan atau pelecehan di sejumlah pesantren. Meskipun hanya segelintir, kasus itu seolah menjadi representasi umum semua pesantren.

Menurut tulisan “Mengatasi Stigma Negatif Tentang Pondok Pesantren” di lampung.nu.or.id , salah satu penyebab utama hilangnya kepercayaan publik adalah efek domino pemberitaan media tanpa konteks yang jelas. Media cenderung menggeneralisasi, sementara pesantren lain yang berprestasi justru jarang mendapat ruang pemberitaan.

Selain itu, ada juga stigma bahwa pesantren adalah sarang konservatisme atau bahkan radikalisme. Kajian dari Semanticscholar.org menjelaskan bahwa generalisasi ideologis seperti itu tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat. Sebaliknya, mayoritas pesantren justru mengajarkan Islam wasathiyah – Islam jalan tengah yang menolak ekstremisme.

“Bubarkan Pesantren?” – Gagasan yang Salah Arah

Dalam perdebatan publik, sesekali muncul narasi ekstrem seperti “bubarkan pesantren” atau “tutup lembaga yang tidak transparan”. Tentu, kalimat itu muncul dari rasa kecewa terhadap beberapa kasus yang viral. Tetapi, menjadikan “pembubaran” sebagai solusi adalah gagasan yang keliru dan destruktif.

Membubarkan pesantren sama artinya dengan meruntuhkan salah satu pilar pendidikan nasional. Sebab, di pelosok-pelosok Indonesia, pesantrenlah yang menjadi satu-satunya lembaga pendidikan yang terjangkau rakyat kecil. Pesantren menampung anak-anak yatim, anak miskin, bahkan menjadi tempat rehabilitasi sosial bagi anak putus sekolah.

Masalah yang terjadi bukan pada konsep pesantren, melainkan pada pengawasan dan tata kelola. Maka, solusinya bukan membubarkan, melainkan mereformasi dan memperkuat sistem pengawasan, transparansi, dan profesionalisme pesantren.

Momentum Hari Santri 2025: Rekonstruksi Kepercayaan Publik

Hari Santri 2025 harus dimaknai sebagai momentum rekonstruksi kepercayaan masyarakat terhadap pesantren. Ada beberapa langkah konkret yang bisa diambil:

1. Publikasi positif dan kisah inspiratif

Pesantren harus aktif mempublikasikan prestasi santri, kiprah alumni, dan inovasi pendidikan. Cerita-cerita baik harus lebih nyaring dari berita buruk.

2. Transparansi dan akuntabilitas lembaga

Pengasuh pesantren wajib terbuka. Laporan keuangan, sistem pengasuhan, serta mekanisme penanganan kasus harus jelas dan bisa diakses publik.

3. Modernisasi kurikulum

Pesantren masa kini perlu memperkuat integrasi ilmu agama dengan ilmu umum, teknologi, dan kewirausahaan agar lulusan mampu bersaing di era digital.

4. Pelatihan SDM dan pengawasan internal

Setiap ustaz, pengasuh, dan pengurus harus mendapat pelatihan pedagogi dan perlindungan anak. Pendidikan tanpa kekerasan harus menjadi komitmen bersama.

5. Kemitraan dengan pemerintah dan media

Pesantren harus berkolaborasi dengan Kemenag, Dinas Pendidikan, dan media massa untuk membangun narasi positif yang berimbang.

Menurut penelitian di ejournal.unida.gontor.ac.id, pesantren yang menerapkan tata kelola terbuka dan membangun hubungan harmonis dengan masyarakat mengalami peningkatan kepercayaan publik secara signifikan.

Pesantren Harus Terbuka, Masyarakat Harus Bijak

Menolak stigma bukan berarti menutup mata dari kekurangan. Pesantren harus berani berbenah, introspeksi, dan menegakkan etika lembaga. Sebaliknya, masyarakat juga perlu bijak dalam menyikapi informasi. Jangan sampai satu kasus menutup mata kita terhadap ribuan pesantren yang bekerja dengan tulus dan jujur mendidik anak bangsa.

Media pun punya tanggung jawab moral untuk menyajikan berita yang proporsional. Kritik boleh, tetapi jangan sampai mengubur reputasi seluruh pesantren.

Hari Santri 2025 harus menjadi gerakan moral melawan stigma negatif terhadap pesantren. Jika dulu santri ikut merebut kemerdekaan bangsa dengan Resolusi Jihad, maka kini santri harus merebut kembali kepercayaan publik dengan integritas, akhlak, dan prestasi.

Seruan “Stop Stigma, Bubarkan Pesantren?” seharusnya tidak dibaca sebagai ancaman, melainkan sebagai alarm kesadaran kolektif – bahwa pesantren harus terus berbenah, dan masyarakat harus kembali percaya.

Sebab, membubarkan pesantren bukanlah solusi. Tetapi membangkitkan pesantren yang bersih, adaptif, dan bermartabat itulah jalan menuju Indonesia berperadaban.

 

Oleh: Suhedi

Editor: gagasankalbar.com

 

 

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Masa Depan Penerimaan Negara di Era Digital: Kabar dari Ujung Negeri

31 Agustus 2025 - 11:14 WIB

Dari Transaksi Online ke Pembangunan Negeri

29 Agustus 2025 - 16:38 WIB

Membaca Ulang Indonesia: Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia

17 Agustus 2025 - 09:59 WIB

Link Resmi Cek Bantuan Program Indonesia Pintar, Berikut Langkah-langkahnya

16 Juli 2025 - 22:18 WIB

Trending di Opini, Gagasan dan Analisis