Gagasankalbar.com – Film animasi “Merah Putih: One For All” kembali menuai kontroversi menjelang penayangannya di bioskop Indonesia pada 14 Agustus 2025. Kali ini, sorotan publik tertuju pada dugaan penggunaan aset karakter 3D tanpa izin dari seniman asal Pakistan, Junaid Miran.
Miran, yang merupakan kreator konten bersertifikasi di platform Reallusion, menyatakan bahwa enam karakter animasi buatannya digunakan dalam film tersebut tanpa pemberitahuan, pembayaran, maupun pencantuman kredit. “Tidak ada satu pun dari tim produksi yang menghubungi saya atau memberi saya penghargaan atas penggunaan karakter saya sebagai karakter utama dalam film ini,” tulisnya melalui kanal YouTube pribadinya.

Karakter yang dipermasalahkan, termasuk tokoh anak laki-laki berkulit gelap berbaju merah, dijual Miran di Reallusion dengan harga sekitar USD 149 atau Rp2,4 juta per item. Ia menegaskan bahwa lisensi penggunaan aset tersebut tidak mencakup produksi komersial seperti film layar lebar.
Sutradara sekaligus produser eksekutif film, Endiarto, mengakui adanya kemiripan karakter namun menyebut hal itu sebagai “bagian dari kebebasan gaya dan interpretasi dalam dunia animasi.” Ia menambahkan bahwa tim animator telah bekerja keras dan tidak bermaksud meniru karya siapa pun.
Namun hingga kini, belum ada klarifikasi resmi dari pihak produksi terkait tudingan pelanggaran hak cipta tersebut.
Kontroversi ini menambah daftar kritik terhadap film yang diproduksi oleh Perfiki Kreasindo. Dengan anggaran produksi sebesar Rp6,7 miliar, kualitas animasi film ini dinilai tidak sebanding oleh sejumlah pengamat dan warganet. Sutradara Hanung Bramantyo menilai anggaran di bawah Rp 7 miliar sangat sulit menghasilkan animasi berkualitas. “Rata-rata biaya produksi animasi minimal Rp 30-40 miliar dengan durasi pengerjaan 4-5 tahun,” ujarnya. Hanung menyindir, dengan Rp 6 miliar hasilnya hanya sebatas storyboard berwarna yang digerakkan.
Sutradara film sekaligus dosen animasi UGM, Yusron Fuadi, menilai kualitas film ini masih jauh dari standar layar lebar. Ia menyebut trailer yang dirilis menyerupai previsualisasi atau storyboard animasi sederhana. “Kalau Rp 6,7 miliar tapi hasil akhirnya kayak di trailer, ya berarti ada kebocoran dana,” ujarnya. dikutip melalui Kompas.com
Ketua Badan Perfilman Indonesia, Gunawan Paggaru, meminta masyarakat menjadi penonton yang kritis dan menyarankan agar film tersebut tidak ditonton jika dinilai tidak layak. Ia juga mempertanyakan bagaimana film ini bisa mendapat slot tayang di tengah antrean ratusan film Indonesia lainnya.
“Masalahnya ini ada yang antre, nih, tapi kok film yang tidak layak ditonton diberi jadwal, kan? Artinya tidak layak secara kualitas maupun dia tidak ikut antre,” ungkapnya. dilansir dari medcom.id
Sementara itu, anggota DPR RI Lalu Hadrian Irfani mengapresiasi semangat nasionalisme yang diusung film ini, namun menekankan pentingnya menjadikan kritik publik sebagai bahan evaluasi untuk meningkatkan kualitas industri animasi nasional.
“Bagi saya, masukan publik terhadap animasi tersebut, adalah bagian dari proses evaluasi yang penting untuk mendorong pelaku industri kreatif agar terus berbenah dan meningkatkan kualitas karyanya,” kata Lalu Hadrian. dikutip dari news.detik.com









