Menu

Mode Gelap
Komitmen Tingkatkan Kualitas, Lima Dosen Psikologi UM Pontianak Lulus Sertifikasi Dosen Presiden Mahasiswa UNOSO: Ilmu Harus Turun ke Rakyat, Mahasiswa Bukan Naik Kasta UM Pontianak Masuk 10 Besar SINTA, Bukti Komitmen Penelitian Berkualitas Orderan Ojek Online Menurun Akibat Hujan Lebat Hampir Sepekan di Pontianak-Kubu Raya Riko Nahkodai PRISMA (Persatuan Mahasiswa Mempawah) sebagai wadah kolaborasi dan kontribusi nyata bagi Mempawah. Kebakaran Hebat Landa Pasar Senggol Alas Kusuma, 14 Bangunan Hangus

Opini Analisa

Menjemput Kembali Ruh HMI: Membawa Kembali Semangat Universalitas Ala Cak Nur Di Tubuh HmI

badge-check


					Menjemput Kembali Ruh HMI: Membawa Kembali Semangat Universalitas Ala Cak Nur Di Tubuh HmI Perbesar

Gagasankalbar.com – Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bukan sekadar organisasi mahasiswa berbasis keislaman. Ia adalah ruang dialektika ide, kawah candradimuka pembentukan watak kepemimpinan, dan ladang kaderisasi intelektual yang mengakar pada semangat keadaban. Namun dalam kenyataan hari ini, ruh itu tampak mengabur. Gerakan yang seharusnya menebar nilai-nilai universal kini kerap kali justru tersandera oleh fanatisme identitas: suku, daerah, bahkan faksi komisariat.

Ironisnya, dinamika internal HMI yang semestinya menjadi medan tumbuhnya solidaritas lintas identitas kini perlahan berubah menjadi ajang kompetisi sektarian yang kering dari etika dan gagasan. Di banyak ruang perkaderan, semangat keislaman yang seharusnya inklusif, kini disempitkan menjadi soal “kelompok mana yang dominan”. Proses kaderisasi sering kali lebih menonjolkan loyalitas kepada kelompok tertentu daripada mendorong otonomi berpikir kader sebagai insan cita.

Dalam situasi seperti inilah, pemikiran Nurcholish Madjid (Cak Nur) menjadi sangat relevan untuk ditarik kembali ke tengah gelanggang. Cak Nur yang merupakan seorang tokoh pemikir HmI bahkan bangsa Indonesia, ia meyakini bahwa Islam adalah ajaran nilai, bukan sekadar simbol. Islam, menurutnya, adalah sistem etika yang universal; ia berdiri di atas prinsip keadilan, kesetaraan, kejujuran, dan penghormatan terhadap kemanusiaan, tanpa sekat primordial.

“Islam adalah agama universal. Nilai-nilainya harus bisa dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diterima oleh seluruh umat manusia,” begitu kira-kira prinsip dasar yang kerap digaungkan Cak Nur.

Dalam konteks HMI, nilai-nilai itu seharusnya diwujudkan dalam struktur organisasi dan budaya berhimpun yang terbuka dan egaliter. Tapi, hari ini yang kita temukan justru sebaliknya. Alih-alih memperkuat semangat keilmuan dan persaudaraan, banyak forum HMI yang terjebak dalam politik identitas: siapa dari mana, komisariat siapa, kubu siapa. Bahkan dalam pemilihan ketua cabang atau komisariat, pertimbangan intelektualitas dan integritas kerap kali tersisih oleh kalkulasi asal daerah atau blok dukungan.

Masalah Primordialisme: Penyakit Lama yang Tak Sembuh

Jika tidak dikritisi dan dihentikan, pola pikir sempit ini berpotensi menjadi penyakit kronis dalam tubuh HMI. Budaya kompetisi sehat digantikan oleh budaya klaim identitas. Perbedaan pandangan dianggap sebagai ancaman, bukan kekayaan dialektika. Padahal HMI didirikan untuk melampaui batas-batas semacam itu. Dalam sejarahnya, HMI adalah wadah untuk menyatukan potensi umat Islam dari berbagai latar belakang, bukan mempersempitnya dalam tembok-tembok semu.

Semangat egaliter dan kolektifitas harus ditarik kembali ke pusat pergerakan, bahwa HmI hadir pada mulanya membawa semangat persatuan, meleburkan faksi-faksi yang ada, bukan malah membangun tembok sekat yang menjulang, terlebih apabila tembok tersebut disusun dari rangkaian batu-batu kesukuan, kedaerahan, aliran, dan lainnya. Maka ini perlu menjadi garis bawah besar untuk semuanya, apakah betul kita masih membawa semangat kebangsaan dan keummatan, dan bertujuan mewujudkan Indonesia Adil dan Makmur ? Atau hanya sekedar menggapai validasi kelompok dan memperkuat klaim sepihak atas nama kelompok tertentu?

Menawarkan Jalan Keluar: Rekoneksi Intelektual, Reposisi Nilai

Solusi untuk persoalan ini tentu tidak bisa bersifat seremonial atau administratif belaka. Diperlukan langkah-langkah kultural yang menyentuh akar persoalan. HMI mesti memulai dari hal yang paling mendasar: mengorientasikan ulang ruh kaderisasi. Proses pengkaderan semestinya tidak berhenti pada penguatan loyalitas struktural atau retorika formal keorganisasian, tetapi harus diarahkan pada pembentukan watak intelektual yang otonom, kritis, dan beretika. Materi-materi pengkaderan perlu dibersihkan dari doktrin sempit dan diperbarui agar mampu menanamkan nilai-nilai etis yang bersifat universal seperti keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan—nilai-nilai yang menjadi inti dari pemikiran Cak Nur.

Lebih dari itu, HMI harus mulai membangun kembali ekosistem intelektual yang terbuka. Forum-forum diskusi seharusnya menjadi medan pertemuan gagasan lintas komisariat dan angkatan, bukan sekadar ajang afirmasi kelompok. Perbedaan pandangan perlu dirayakan sebagai kekayaan dialektika, bukan dianggap ancaman. Budaya berpikir harus dikedepankan, bukan budaya berkelompok. Dalam setiap proses pemilihan pemimpin, orientasi kita pun mesti bergeser: dari hitungan jumlah dukungan menjadi pertimbangan kualitas gagasan dan integritas moral. Pemimpin dalam tubuh HMI semestinya adalah mereka yang mampu membangun visi kolektif, bukan sekadar representasi faksi.

Selain itu, perlu ada revitalisasi terhadap spirit keislaman dalam tubuh organisasi. Islam yang digaungkan kader HMI harus tampil sebagai Islam yang kontekstual, humanis, dan progresif—Islam yang mampu menjawab tantangan zaman, bukan sekadar sibuk menjaga simbol atau jargon. Dalam konteks itu, pemikiran Cak Nur memberi kita bekal yang cukup: bahwa agama adalah panggilan moral, bukan sekadar klaim identitas. Maka, perjuangan kader HMI seharusnya menyasar hal-hal yang lebih substantif, seperti memperjuangkan keadilan sosial, menghapus sekat-sekat ketimpangan, serta mewujudkan tatanan masyarakat yang menjunjung tinggi harkat manusia.

Menjemput Ruh yang Terlupa

Menjemput kembali ruh HMI bukanlah nostalgia romantik. Ini adalah panggilan mendesak untuk mereformasi wajah organisasi agar tetap relevan di tengah krisis nilai dan polarisasi zaman. Cak Nur telah memberi peta jalan: Islam yang rasional, inklusif, dan universal. Tugas kita bukan hanya mengutip dan membaca pikiran cak nur, tapi lebih dalam lagi, tugas kita adalah merealisasikan nilai-nilai yang ada dalam praktik keorganisasian.

HMI bukan milik satu daerah, satu komisariat, atau satu-satu lainnya. Ia milik umat. Maka setiap kader punya tanggung jawab moral untuk menyelamatkannya dari jebakan eksklusivisme sempit. Kembali pada universalitas bukan berarti kehilangan jati diri, tapi justru menemukannya kembali dalam bentuk yang paling luhur.

Dan kalau bukan kita yang menjemput ruh itu, siapa lagi?

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

80 Tahun Merdeka, Mandor Masih Sunyi

4 Agustus 2025 - 13:04 WIB

Membaca Ulang Pemuda dan Kepemimpinan: Menyimpul Korelasi Usia dan Kapasitas Kepemimpinan dalam HMI

15 Juli 2025 - 10:54 WIB

“Palum” Resmi Masuk KBBI, Jadi Lawan Kata “Haus” dari Bahasa Batak Pakpak

11 Juli 2025 - 14:55 WIB

Palum

Jejak Panjang Korupsi di Indonesia: Dari Kolonial hingga Era Reformasi

11 Juli 2025 - 11:38 WIB

Korban Duel Lawan Begal di Bekasi, Pelaku Kabur Kocar-Kacir

11 Juli 2025 - 11:14 WIB

Trending di Opini Analisa