Gagasankalbar.com – Di tubuh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), kepemimpinan selalu menjadi ruang kontestasi gagasan, nilai, dan arah gerakan. Namun dalam kontestasi itu, kerap muncul persoalan klasik: usia. Usia muda sering kali dianggap belum pantas untuk memimpin. Stereotip seperti “belum cukup pengalaman”, “kurang matang secara emosional”, atau “belum masanya” menjadi wacana laten yang terus bergulir dalam dinamika perkaderan dan pemilihan kepemimpinan di HMI.
Padahal, jika membaca sejarah HMI secara kritis, kita akan menemukan bahwa organisasi ini justru tumbuh dari semangat dan keberanian kaum muda. Lafran Pane mendirikan HMI pada usia 25 tahun usia yang hari ini sering dianggap “terlalu muda” untuk menjadi ketua cabang. Dalam konteks sejarah itu, usia bukan penghalang, tetapi justru titik pijak perjuangan.

HMI adalah ruang kaderisasi, bukan birokrasi tua. Maka kepemimpinan dalam HMI semestinya tidak disandarkan pada senioritas usia, melainkan pada kualitas: visi keummatan dan kebangsaan serta kecakapan dalam membaca zaman. Seorang kader muda yang aktif mengasah diri di komisariat, bergulat dengan realitas sosial, menguasai narasi keislaman dan keindonesiaan, serta memiliki semangat transformasi, terlepas dari usianya.
Namun dalam praktiknya, resistensi terhadap kepemimpinan muda sering hadir dalam bentuk struktural maupun kultural. Ada upaya membatasi regenerasi dengan dalih “belum cukup matang” atau “belum saatnya.” Bahkan tak jarang, ketua-ketua cabang justru diisi oleh kader-kader senior yang sudah melewati masa idealnya sebagai mahasiswa aktif. Ini tentu menabrak prinsip dasar HMI sebagai organisasi perkaderan mahasiswa.
Apabila kita membiarkan narasi usia menjadi syarat utama kepemimpinan, maka HMI akan kehilangan daya hidupnya sebagai kawah candradimuka kepemimpinan muda. Ia akan berubah menjadi ruang konservasi status quo, bukan pembebas yang melahirkan pemimpin transformatif. Karena itu, sangat penting untuk membongkar ulang konstruksi berpikir lama: bahwa yang muda selalu identik dengan ketidaksiapan, dan yang tua selalu identik dengan kebijaksanaan.
Kepemimpinan dalam HMI harus ditopang oleh nilai, bukan umur. Siapapun yang telah melalui proses perkaderan dan tahapan perkaderan secara tuntas, memiliki gagasan segar, dan terbukti konsisten dalam perjuangan, layak diberi amanah. Justru semakin muda seseorang dipercaya untuk memimpin, semakin panjang waktu dan kesempatan untuk bertumbuh, serta memperluas dampak kebermanfaatannya dalam jangka panjang.
Hari ini, banyak kader muda HMI yang sesungguhnya memiliki kapasitas besar: paham sejarah, tanggap terhadap isu sosial, menguasai teknologi, dan memiliki jejaring luas. Tapi mereka kerap dihadang oleh keraguan yang justru berasal dari internal organisasi sendiri. Ini adalah ironi yang perlu segera dibongkar.
Dengan demikian, membaca ulang korelasi antara usia dan kapasitas kepemimpinan dalam HMI bukan sekadar urusan personal siapa layak atau tidak. Tapi lebih dalam dari itu: ini adalah soal arah organisasi. Apakah HMI akan terus menjadi rumah tumbuhnya pemimpin muda yang transformatif yang lahir dari rahim-rahim kaderisasi atau justru berhenti pada sekat-sekat yang tak subtansi?
Maka, saatnya kita kembali kepada semangat kolektif bersama, bahwa HmI mesti menjadi rumah yang memberi ruang bagi tumbuhnya kepemimpinan muda yang lahir dan bertumbuh dari proses perkaderan himpunan yang menghasilkan kader umat dan bangsa yang berkualitas.