Gagasankalbar.com – Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) se-Kalimantan Barat menyatakan penolakan tegas terhadap rencana pemerintah melanjutkan program transmigrasi baru tahun 2026. Kebijakan tersebut dinilai tidak menjawab akar persoalan pembangunan, bahkan berpotensi memicu konflik sosial yang pernah melanda Kalimantan Barat pada akhir 1990-an.
“Transmigrasi bukan solusi atas ketimpangan pembangunan, keterbatasan akses kesehatan, dan minimnya fasilitas pendidikan,” kata Steper Vijaye, Ketua Pengurus Pusat GMKI Wilayah XIV Kalimantan Barat, dalam pernyataan sikap yang dirilis pada Selasa.

Menurut GMKI, masyarakat lokal, khususnya suku Dayak, selama ini terbuka dan hidup harmonis dengan para pendatang. Namun, mereka menolak apabila pemindahan penduduk dilakukan secara massal dan difasilitasi penuh oleh pemerintah, sementara penduduk asli tidak mendapat perlakuan yang sama. “Fasilitas rumah dan lahan gratis bersertifikat untuk transmigran adalah bentuk ketidakadilan nyata yang menyinggung rasa keadilan masyarakat lokal,” ujar Steper.
GMKI menilai kebijakan transmigrasi sebagai jalan pintas yang justru mengabaikan kebutuhan dasar masyarakat di daerah asal dan tujuan. Alih-alih memindahkan penduduk, pemerintah semestinya membenahi infrastruktur, layanan pendidikan dan kesehatan, serta membuka lapangan kerja di kawasan tertinggal.
Dalam pernyataan sikapnya, GMKI Se-Kalimantan Barat menuntut:
-
Pemerintah mendistribusikan layanan kesehatan secara adil hingga ke pelosok Kalimantan Barat.
-
Pemerintah pusat dan daerah memprioritaskan peningkatan sarana dan prasarana pendidikan bagi generasi muda.
-
Regulasi transmigrasi 2026 dievaluasi secara terbuka karena berpotensi mengabaikan keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan hak masyarakat lokal.
GMKI juga mengingatkan pemerintah akan risiko berulangnya tragedi sosial seperti yang terjadi di Sambas pada 1997. Konflik berdarah yang melibatkan etnis lokal dan pendatang itu dipicu oleh ketimpangan ekonomi, kesenjangan akses terhadap sumber daya, dan minimnya integrasi sosial. “Konflik tersebut menewaskan ribuan jiwa dan meninggalkan trauma sosial yang belum sepenuhnya pulih hingga hari ini,” ujar Steper.
GMKI menilai program transmigrasi baru terkesan terburu-buru, tidak partisipatif, dan tidak berbasis pada prinsip keadilan sosial. “Kami menolak dijadikan objek kebijakan sepihak tanpa persetujuan masyarakat terdampak. Ini membuka ruang konflik horizontal yang seharusnya bisa dicegah,” tegas Steper.
Menutup pernyataannya, GMKI Kalimantan Barat menyerukan kepada pemerintah untuk membuka ruang dialog yang transparan dan inklusif, serta fokus membangun dari dalam. “Prioritaskan pembangunan infrastruktur, layanan publik, dan pemberdayaan ekonomi lokal. Jangan memindahkan masalah ke Kalimantan Barat,” pungkasnya.