Menu

Mode Gelap
Dialog Islam-Khonghucu Internasional V: Sinergi Wasathiyah dan Zhong Yong untuk Membangun Keharmonisan Dunia dari Keluarga Universitas Muhammadiyah Pontianak Gelar Pontianak Career Clinic & Culture 2025, Hadirkan Wakil Menteri BP2MI Bawa 60 Atlet, Batu Ampar Siap Ukir Prestasi di PORSENI 2025 DPD GMNI Kalbar: Kereta Cepat WHOOSH menyebabkan Kerugian Negara, Harus Ada yang Bertanggungjawab! Guru SD Negeri 52 Sungai Raya Tetap Semangat Mengajar di Tengah Keterbatasan Ruang Belajar Kantor SAR Pontianak Laksanakan Siaga SAR Khusus Pengamanan Karnaval Air HUT ke-254 Kota Pontianak

Uncategorized

Pemuda dan Demokrasi: Antara Subjek Perubahan atau Sekadar Objek Komoditas Politik?

badge-check


					Pemuda dan Demokrasi: Antara Subjek Perubahan atau Sekadar Objek Komoditas Politik? Perbesar

“Demokrasi bukan sekadar soal memilih wakil rakyat, tetapi bagaimana kekuasaan dijalankan demi kepentingan rakyat.” -Mohammad Hatta

Kutipan dari Bung Hatta itu tetap relevan, bahkan terasa semakin tajam dalam konteks demokrasi hari ini. Terlebih ketika bicara soal pemuda dan keterlibatannya dalam proses politik. Kita perlu mengakui: demokrasi kita memang masih menjadikan pemuda sebagai simbol semata, belum sepenuhnya sebagai kekuatan nyata perubahan.

Padahal, angka menunjukkan hal yang sebaliknya. Pada Pemilu 2024 lalu, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) mencatat bahwa lebih dari 113 juta pemilih merupakan generasi muda gabungan generasi milenial (lahir 1981–1996) dan Gen Z (lahir 1997–2012). Jumlah itu setara dengan 56,45% dari total pemilih nasional. Artinya, secara statistik, pemuda menjadi penentu utama dalam demokrasi elektoral Indonesia.

Namun, angka sebesar itu masih menyisakan pertanyaan: apakah partisipasi besar pemuda dalam pemilu benar-benar punya dampak substantif bagi arah politik bangsa? Atau justru hanya menjadi “komoditas politik” yang digunakan para kandidat untuk meraup suara, lalu dilupakan setelahnya?

Pemuda dalam Kampanye: Diangkat Tinggi, Ditarik Pergi

Selama masa kampanye Pemilu 2024, hampir semua pasangan calon dari pilpres hingga pilkada berlomba mengangkat tema anak muda. Isu seperti bonus demografi, kreatif digital, hingga ekonomi hijau dan teknologi sering dikaitkan dengan pemuda. Bahkan tak sedikit konten kampanye yang dibuat dengan gaya anak muda: dari TikTok challenge, podcast, hingga jargon-jargon khas generasi Z. Pemuda menjadi alat penting dalam narasi politik dan gaya kampanye kekinian.

Namun yang sering terjadi adalah reduksi peran anak muda. Banyak dari mereka sekadar jadi “alat promosi” tanpa keterlibatan nyata dalam pengambilan keputusan atau penyusunan kebijakan. Setelah pemilu selesai, nama-nama muda yang sempat viral saat kampanye menghilang dari radar politik. Di sinilah muncul kekhawatiran: pemuda dijadikan komoditas, bukan subjek perubahan.

Keterlibatan Nyata: Masih Terbatas, Tapi Menjanjikan

Meski demikian, tak bisa disangkal bahwa gelombang keterlibatan politik anak muda makin terasa dalam beberapa tahun terakhir. Di DPR RI, beberapa figur muda mulai mendapat ruang meski jumlahnya belum signifikan. Di level daerah, kita juga melihat munculnya aktivis, pegiat sosial, bahkan konten kreator yang berani masuk ke ruang politik formal.

Namun keterlibatan ini belum sepenuhnya mampu menggeser wajah politik yang sarat patronase dan oligarki. Banyak anak muda yang masuk ke dunia politik justru terjebak dalam struktur lama, atau hanya menjadi “pelengkap usia muda” di tubuh partai yang tua. Harapan bahwa para politikus muda yang masuk dan terjun kedalam sistem yang pada mulanya diharapkan membawa angin segar, reformasi wajah politik, gebrakan dan pendekatan pembuatan kebijakan yang lebih progresif dan efesien pun belum tampak perubahan berarti. Di sinilah tantangannya: bagaimana anak muda bisa masuk dan memberi warna ke dalam sistem, tapi tetap membawa semangat perubahan?

Setelah Pemilu, Apa Peran Pemuda?

Momentum pemilu memang penting, tapi tidak boleh menjadi satu-satunya titik peran pemuda dalam demokrasi. Justru setelah pemilu selesai, keterlibatan pemuda harus makin menguat dalam bentuk pengawasan, advokasi, pendidikan politik, dan keterlibatan aktif dalam ruang kebijakan.

Anak muda punya modal besar: akses terhadap teknologi informasi, kemampuan literasi digital, jejaring sosial yang luas, serta daya kritis yang tumbuh. Dengan modal itu, pemuda seharusnya mampu menjadi watchdog demokrasi mengawasi janji politik, mengkritisi kebijakan yang tak pro rakyat, serta menjadi penengah ketika politik mulai menyimpang dari etika.

Sikap apatis hanya akan memperkuat status quo. Jika anak muda menyerahkan urusan politik kepada elite tanpa pengawasan, maka demokrasi akan terus dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir orang.

Politik Harus Jadi Ruang Belajar

Bagi sebagian orang muda, politik masih dianggap kotor, penuh intrik, dan tidak menarik. Namun sikap menjauh dari politik justru membuka ruang bagi mereka yang hanya mengejar kekuasaan tanpa tanggung jawab. Maka, penting untuk mulai melihat politik sebagai ruang belajar dan arena perjuangan. Politik bukan sekadar perebutan kursi, tapi soal arah kebijakan yang berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari: dari harga bahan pokok, akses pendidikan, hingga lapangan pekerjaan.

Demokrasi akan benar-benar hidup jika anak muda mengambil peran sebagai penentu arah, bukan hanya sebagai angka statistik. Saat pemuda sadar bahwa satu kebijakan bisa menentukan masa depan kolektif, di situlah kesadaran politik yang sejati mulai tumbuh.

Penutup: Kembali ke Pertanyaan Awal

Kini, kita kembali ke pertanyaan mendasar: apakah pemuda adalah subjek perubahan atau sekadar objek komoditas politik? Jawabannya tergantung pada sejauh mana pemuda mau dan mampu terlibat secara kritis dan konsisten dalam ruang demokrasi.

Demokrasi tak akan pernah benar-benar matang jika anak mudanya memilih diam, apatis dan mengikuti arus dan pola-pola usang. Demokrasi akan hidup bila hadir pemuda-pemuda yang siap mengawal dan memberi warna perubahan, bukan sekedar menjadi pengekor tanpa hadir memberi gagasan-gagasan berarti. Maka, tugas kita bukan sekadar hadir di TPS atau bahkan enggan hadir dalam memberi hak suara di TPS, tapi terus hadir di ruang-ruang pengawasan, pengawalan, dan pembaruan politik bangsa.

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Dialog Islam-Khonghucu Internasional V: Sinergi Wasathiyah dan Zhong Yong untuk Membangun Keharmonisan Dunia dari Keluarga

23 Oktober 2025 - 08:25 WIB

Universitas Muhammadiyah Pontianak Gelar Pontianak Career Clinic & Culture 2025, Hadirkan Wakil Menteri BP2MI

22 Oktober 2025 - 07:52 WIB

DPD GMNI Kalbar: Kereta Cepat WHOOSH menyebabkan Kerugian Negara, Harus Ada yang Bertanggungjawab!

21 Oktober 2025 - 13:07 WIB

Guru SD Negeri 52 Sungai Raya Tetap Semangat Mengajar di Tengah Keterbatasan Ruang Belajar

21 Oktober 2025 - 13:03 WIB

Kantor SAR Pontianak Laksanakan Siaga SAR Khusus Pengamanan Karnaval Air HUT ke-254 Kota Pontianak

19 Oktober 2025 - 12:24 WIB

Trending di Uncategorized