Gagasankalbar.com – Korupsi di Indonesia bukan barang baru. Praktik lancung ini telah menjadi bagian dari sejarah panjang negeri, bahkan sejak masa kolonial Hindia Belanda. Seiring waktu, korupsi tidak sekadar bertahan, tetapi berkembang menjadi lebih sistematis dan menyusup ke berbagai sendi kekuasaan, dari pusat hingga daerah.
Dari Kompeni ke Kekuasaan Orde Baru
Di masa penjajahan, korupsi sudah menjadi praktik umum. Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan sistem birokrasi yang hierarkis dan berbelit-belit, memberi ruang luas bagi pungli, suap, dan penyalahgunaan wewenang. Pegawai pemerintah dan elit lokal sering memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi.

Setelah proklamasi 1945, korupsi tidak serta-merta hilang. Pada masa Orde Lama, Presiden Soekarno sempat membentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) pada 1963 untuk merapikan birokrasi dan memberantas korupsi. Namun langkah itu tak banyak membuahkan hasil. Lemahnya penegakan hukum dan instabilitas politik membuat upaya pemberantasan korupsi berjalan di tempat.
Memasuki era Orde Baru, korupsi justru menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem kekuasaan. Di bawah kendali Presiden Soeharto, korupsi menguat dalam bentuk hubungan patronase antara negara dan pengusaha kroni. Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang dibentuk di awal masa pemerintahannya pun tak berumur panjang. Banyak kasus besar tak tersentuh hukum.
Reformasi dan Harapan Baru yang Renta
Tumbangnya Soeharto pada 1998 membawa angin perubahan. Pemerintah era reformasi mulai melakukan pembenahan hukum dan tata kelola negara. Puncaknya adalah pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2002. Lembaga ini menjadi simbol perlawanan terhadap praktik korupsi yang sudah mengakar.
KPK mencatat sederet pencapaian, mulai dari operasi tangkap tangan hingga menjerat pejabat tinggi negara. Namun, perjuangan melawan korupsi belum selesai. Intervensi politik, pelemahan regulasi, hingga kriminalisasi terhadap penyidik KPK menjadi tantangan tersendiri.
Kerugian Negara yang Tak Kunjung Surut
Korupsi tak hanya mencederai keadilan sosial, tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi yang masif. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa dalam periode 2013 hingga 2022, total kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp238,14 triliun.
Angka tertinggi tercatat pada 2021, ketika kerugian negara menembus Rp62,93 triliun. Meski pada 2022 angka ini menurun menjadi Rp48,79 triliun, jumlahnya tetap mencerminkan persoalan struktural yang belum terselesaikan.
Berikut rincian kerugian negara akibat korupsi per tahun:
-
2013: Rp3,46 triliun
-
2014: Rp10,69 triliun
-
2015: Rp1,74 triliun
-
2016: Rp3,08 triliun
-
2017: Rp29,42 triliun
-
2018: Rp9,29 triliun
-
2019: Rp12 triliun
-
2020: Rp56,74 triliun
-
2021: Rp62,93 triliun
-
2022: Rp48,79 triliun
Jalan Panjang Melawan Korupsi
Sejarah korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa praktik ini tidak bisa dibasmi dengan pendekatan reaktif semata. Butuh reformasi kelembagaan yang konsisten, pengawasan yang kuat, serta pendidikan publik untuk membangun budaya anti-korupsi sejak dini.
Korupsi adalah penyakit lama dalam tubuh republik. Jika tak disembuhkan, ia akan terus melemahkan sendi negara—baik secara moral, politik, maupun ekonomi.