Gagasankalbar.com – Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPD GMNI) Kalimantan Barat menyampaikan kritik tajam terhadap proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), atau yang dikenal dengan nama WHOOSH. Proyek ini, yang diinisiasi oleh Presiden ketujuh Republik Indonesia, Joko Widodo, kini menjadi sorotan publik karena membebani keuangan negara dan menimbulkan potensi kerugian jangka panjang yang serius.
Proyek KCIC awalnya dirancang sebagai kerja sama strategis antara Indonesia dan Jepang. Namun, secara tiba-tiba dan tanpa transparansi yang memadai, kontrak dialihkan ke China Development Bank (CDB) melalui konsorsium KCIC. Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Prof. Mahfud MD, dalam kanal YouTube pribadinya, menyebut bahwa pemecatan Ignatius Jonan dari jabatan Menteri Perhubungan saat itu berkaitan langsung dengan penolakannya terhadap proyek ini. Jonan disebut telah “mencium” potensi kerugian negara sejak awal, namun ditolak mentah-mentah oleh presiden ketujuh Joko Widodo.

Kekhawatiran itu terbukti saat ini, dimana berdasarkan laporan keuangan KCIC semester I tahun 2025, tercatat kerugian sebesar Rp1,6 triliun. Sementara beban bunga pinjaman dari CDB mencapai Rp2 triliun per tahun, belum termasuk pokok utang. Pendapatan dari tiket WHOOSH tidak mampu menutupi bunga, apalagi biaya operasional, sehingga konsorsium BUMN Indonesia yang menjadi pemegang saham KCIC ikut menanggung kerugian.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa secara tegas menolak penggunaan APBN untuk menutup utang proyek KCIC. Ia menyebut bahwa janji awal Presiden Jokowi untuk tidak menggunakan dana negara telah dilanggar, dan kini rakyat berpotensi menanggung beban melalui pajak dan subsidi silang. Dalam pernyataannya, Purbaya menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh mengulangi kesalahan masa lalu, di mana proyek infrastruktur besar justru menjadi beban fiskal jangka panjang.
Sebagai pengingat hukum, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 3, menyatakan bahwa setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan, dan menyebabkan kerugian keuangan negara, dapat dipidana hingga 20 tahun penjara atau seumur hidup. Dalam konteks ini, pertanggungjawaban atas kerugian KCIC bukan hanya soal etika politik, tetapi juga potensi pelanggaran hukum.
Ketua DPD GMNI Kalbar, Dheova Situmorang, menyampaikan kritik keras terhadap proyek ini. “WHOOSH adalah simbol ambisi yang tidak dikawal akal sehat. Proyek ini sejak awal janggal, dari pemindahan kontrak ke China hingga pembengkakan biaya yang tidak masuk akal. Sekarang, kerugiannya nyata dan rakyat diminta menanggungnya. Ini bukan pembangunan, ini pembebanan,” tegas Dheova.
Ia juga menyoroti potensi penguasaan aset strategis oleh China jika KCIC gagal membayar utang. “Ketika utang tidak terbayar, bukan hanya keuangan negara yang terancam, tapi juga kedaulatan aset. Jangan sampai wilayah kita dijadikan jaminan diam-diam,” tambahnya.
Dheova mendesak agar pemerintah melakukan audit menyeluruh terhadap proyek KCIC dan membuka seluruh dokumen kontrak kepada publik. Ia juga menekankan bahwa proyek sebesar ini tidak boleh mengorbankan sektor lain yang lebih fundamental.
Melihat besarnya potensi kerugian dan dampak sistemik dari proyek KCIC, sudah saatnya pemerintah dan para pemangku kepentingan bertindak tegas. Transparansi, akuntabilitas, dan evaluasi menyeluruh harus menjadi prioritas. Rakyat tidak boleh lagi menjadi korban dari proyek ambisius yang gagal dikelola dengan bijak. Jika ada pelanggaran, maka harus ada yang bertanggung jawab yang bukan sekadar secara politik, tetapi juga secara hukum. Karena pembangunan yang sehat bukan hanya soal kecepatan, tetapi soal keadilan dan keberlanjutan.